Minggu, 01 Juli 2012

POGING DALAM HUKUM PIDANA


Percobaan (Poging)
dalam Hukum Pidana

BAB I
PENDAHULUAN

I.1     Latar Belakang

Dewasa ini banyak sekali terdapat kasus percobaan yang terjadi di masyarakat kita, baik kasus percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, sampai percobaan pemerkosaan terjadi. Masyarakat seringkali keliru dalam mengartikan apa itu percobaan. Dalam kenyataannya, masyarakat masih memiliki tanda tanya besar mengapa percobaan harus dipidana. Padahal, tindak pidana yang dimaksud tidak sempat terjadi. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai percobaan secara rinci agar tidak terjadi kekeliruan lebih lanjut saat memahami apa itu percobaan.

I.2     Identifikasi Masalah

1.      Apa yang dimaksud dengan percobaan?
2.      Dimanakah ketentuan mengenai percobaan diatur?
3.      Apakah syarat-syarat untuk mengatakan bahwa tindakan tersebut termasuk dalam tindakan percobaan kejahatan?
4.      Mengapa lembaga percobaan diperlukan?
5.      Apa saja perbuatan-perbuatan yang seolah-seolah atau mirip percobaan?
6.      Berikan contoh kasus percobaan dan analisisnya!


BAB II
PEMBAHASAN

II.1    Percobaan dan Ketentuannya

Dari segi tata bahasa, istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu dalam keadaan diuji (Poerwodarminto, 1976:209). Menurut Wirjono, pada umumnya, kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum terjadi. Pengertian menurut tata bahasa di atas tidaklah dapat digunakan sebagai ukuran dari percobaan (melakukan kejahatan) sebagaimana dalam hukum pidana. Di dalam undang-undang tidak dijumpai definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan (poging).
Pasal 53 ayat 1 KUHP didalam merumuskan perihal pengertian mengenai percobaan, melainkan merumuskan tentang syarat – syarat untuk dapat dipidananya bagi orang yang melakukan percobaan kejahatan. Pengertian menurut tata bahasa tersebut diatas tidaklah dapat digunakan sebagai ukuran percobaan kejahatan sebagaimana dalam hukum pidana. Menurut hukum pidana untuk terjadinya percobaan sehingga dapat dipidana mempunyai ukuran yang khusus dan lain dari ukuran percobaan menurut arti tata bahasa.
Ukuran percobaan menurut arti tata bahasa ialah bahwa dalam percobaan melakukan kejahatan yang dapat dipidana, si pembuat telah memulai melakukan perbuatan yang perbuatan mana tidak menjadi selesai. Tetapi dalam hukum pidana untuk dapatnya dipidana bagi si pembuat pencoba kejahatan,tidaklah cukup demikian tetapi jauh lebih luas baik dari sudut subjektif si pembuat maupun sudut objektif perbuatannya yang walaupun baru dimulai tersebut.

II.2    Syarat – Syarat Percobaan Kejahatan

Syarat – syarat yang harus dipenuhi untuk percobaan kejahatan ialah :
1.      Adanya Niat;
Bagaimanakah maksud itu harus ditafsirkan ? bagian terbesar pengarang-pengarang mempersamakan “maksud” dengan “sengaja” (opzettelijk) dalam segala bentuknya. Tetapi dalam hal kesengajaan yang mana,disini telah menimbulkan perbedaan pandangan, walaupun pada umumnya para pakar hukum berpendapat luas,ialah terhadap semua bentuk kesengajaan. Demikian juga dalam praktik hukum mengikuti pandangan sebagian besar para pakar hukum dengan menganut pendapat yang luas. Pendapat sempit telah dianut oleh VOS yang memberikan arti niat sebagai kesengajaan sebagai tujuan saja.
Sebagaimana dalam doktrin hukum,menurut tingkatan kesengajaan ada 3 macam:
a.      Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan yang dapat juga disebut kesengajaan dalam arti sempit
b.      Kesengajaan sebagai kepastian atau kesadaran/keinsyafan mengenai perbuatan yang disadari sebagai pasti menimbulkan suatu akibat
c.       Kesengajaan sebagai kemungkinan atau suatu kesadaran/keinsyafan mengenai suatu perbuatan terhadap kemungkinan timbulnya suatu akibat dari suatu perbuatan, disebut juga dengan dolus eventualis.
Para ahli hukum yang lain berpendapat bahwa niat adalah kesengajaan dalam semua bentuknya. Bagi Satochid bahwa dalam doktrin hukum dan yurisprudensi voornemen harus ditafsirkan sebgai kehendak, de wil atau lebih tepat dengan opzet. Dari apa yang dikatakan beliau maka dapat disimpulkan bahwa beliau menganut pandangan bahwa voornemen harus diartikan sebagai opzet. Dalam arti sempit,opzet adalah kesengajaan sebagai maksud adalah sesuai dengan arti voornemen dalam arti bahasa sehari-hari dan dalam arti luas adalah termasuk ketiga macam bentuk opzet.
 Wirjono mendukung pendapat bahwa niat disini adalah termasuk juga kesengajaan sebagai kemungkinan. Menurut Hazewinkel Suringa niat ini adalah rencana untuk mengadakan perbutan tertentu dalam keadaan tertentu pula didalam pikiran. Dalam rencana itu selain mengandung apa yang dimaksud, juga mengandung gambaran tentang cara bagaimana akan dilaksanakannya dan tentang akibat-akibat tambahan yang tidak diingini tapi yang dapat diperkirakan akan terjadi pula.
 Menurut Moeljatno niat tidak boleh diartikan sebagai kesengajaan dan isinya juga tidak bisa ditentukan dari isinya kesengajaan. Niat yang belum diwujudkan dalam bentuk perbuatan adalah berupa sikap batin yang memberi arah kepada apa yang akan diperbuat. Niat dapat dipandang dua sudut,yaitu pertama: niat dalam arti bahsa sehari-hari pada umumnya yang tidak perlu dikaitkan pada hukum pidana (dalam hubungannya dengan melakukan tindak pidana atau melakukan percobaan kejahatan) dan kedua: niat dalam hubungannya dengan tindak pidana maupun percobaan kejahatan. Untuk hal yang pertama,niat mempunyai arti yang sama dengan apa yang dikatakan oleh Moeljatno ialah “sikap batin seseorang yang member arah kepada apa yang akan diperbuatnya” dan ini lebih condong pada arti sebagai apa yang ingin dicapai atau maksud yang masih murni didalam batin seseorang. Niat dalam artian demikian tidak mempunyai arti apa-apa dari sudut hukum pidana. Tetapi dalam perngertian yang kedua yaitu dalam hal percobaan kejahatan tidaklah sekedar demikian artinya,karena niat disini adalah harus diliat dari sudut hubungannya dengan percobaan kejahatan yang dipidana khususnya dalam hubungannya mencoba melakukan kejahatan pidana maupun dnegan kalimat dibelakangnya “telah ternyata dari adanya permulaan pelaksaanan” dalam rumusan pasal 53 ayat 1 tentang syarat-syarat dipidananya melakukan percobaan kejahatan.
 Oleh sebab sikap batin disini tidak boleh lepas dalam hubungannya dengan syarat untuk dapat dipidananya si pembuat tindak pidana (sudut subyektif) ialah harus ada kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) pada diri si pembuat yang pula bersumber pada asas tiada pidana tanpa kesalahan yang menyebutkan bahwa niat dalam hal percobaan kejahatan adalah kesalahan dalam bentuk kesengajaan khususnya kesengajaan sebagai maksud. Sikap batin mengetahui adalah termasuk segala yang diketahui atau disadari tentang perbuatan yang (akan) dilakukan beserta akibatnya, dan ini artinya termasuk kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan atau dolus eventualis.

2.      Adanya Permulaan Pelaksanaan;
“Bagaimanakah memulai melaksanakan” itu harus ditafsirkan ? dalam ilmu hukum pidana maupun jurisprudensi hukum pidana diadakan perbedaan antara perbuatan persiapan misalnya, perbuatan membeli sebuah pistol, dan perbuatan melaksanakan seperti pebuatan mengarahkan pistol itu kepada yang hendak membunuh. Perbuatan persiapan itu dianggap tidak strafbaar sedangkan perbuatan melaksanakan yang dianggap inti dari percobaan, adalah suatu perbuatan yang strafbaar. Jadi, persoalan penting dalam hal percobaan adalah persoalan tentang perbuatan mana yang hanya merupakan perbuatan persiapan saja, yakni perbuatan yang tidak strafbaar.
 Teori percobaan ada 2, yaitu teori percobaan subjektif dan teori percobaan objektif. Dasar teori percobaan subjektif adalah dari kehendak atau watak (mentalitet) pembuat. Teori percobaan objektif melihat dasar strafbaarheid (dapat dihukumnya) percobaan dalam suatu perbuatan yang melanggar ketertiban hukum umum. Pompe mengemukakan bahwa tentang teori percobaan objektif ada 2 tipe :
a.      Percobaan perbuatan adalan strafbaar karena perbuatan itu termasuk lukisan delik dalam undang-undang.
Pendapat ini dikemukakan oleh Zeven Bergen dan Duinstee. Pendapat ini sesuai dengan sejarah ketentuan dalam pasal 53 KUHPidana. Zeven Bergen mengemukakan pendapat sebagai berikut: karena undang-undang memperhatikan, maka tiap perbuatan percobaan yaitu tiap perbuatan melaksanakan, dengan sendirinya merupakan sebagian dari delik terselesai. Dengan kata lain, apabila perbuatan yang bersangkutan (perbuatan melaksanakan) telah memenuhi sebagian dari lukisan delik dalam undang-undang, maka perbuatan itu merupakan suatu strafbaare poging.

b.      Perbuatan percobaan (perbuatan melaksanakan) adalah strafbaar, Karena perbuatan itu secara objektif merupakan bahaya (objektief gevaarlijk).
Artinya, pendapat ini dirumuskan oleh Von Feueur Bach: percobaan itu strafbaar, karena antara perbuatan percobaan dan kejahatan yang hendak dilakukan adalah suatu hubungan sebab menyebab, dan oleh sebab itu ditinjau dari sudut objektif perbuatan tersebut membahayakan. Terang sekali apa yang dapat dilihat di atas bahwa “perbuatan persiapan” dan “perbuatan melaksanakan”, dalam ilmu hukum pidana bergantung pada teori yang dianut. mereka yang menganut suatu teori percobaan yang subjektif, hanya dapat menentukan batas tiap perkara percobaan satu persatu (masing-masing). Jadi, mereka tidak dapat menentukan suatu batas yang tetap dan umum untuk suatu tipe perkara percobaan yang tertentu. mereka yang menganut teori percobaan objektif umumnya dapat menentukan suatu batas “tetap dan umum” untuk suatu tipe percobaan tertentu.

3.      Pelaksanaan tidak selesai yang bukan disebabkan karena kehendak sendiri.

II.3    Perlunya Lembaga Hukum Percobaan
Dalam menjamin ketentraman individu terhadap niat jahat dari beberapa diantara sesama individu, maka hukum pidana positif tidak mengambil resiko, terkecuali dalam hal beberapa kejahatan, seperti yang tercantum dalam pasal-pasal 182 djb (lihatlah pasal 184 ayat 5, pasal 351 ayat 4 dan pasal 352 ayat 2) maka KUHPidana, dengan menjatuhkan suatu hukuman, tidak menunggu sampai terjadinya akibat kejahatan yang sedang dilakukan (khusus dalam hal delik materil). KUHPidana telah sanggup menjatuhkan hukuman atas perbuatan memulai melaksanakan suatu niat yang jahat. Sikap KUHPidana ini, yaitu sanggup telah menghukum pembuat yang baru saja memulai melaksanakan niat jahat dan tidak memberi kesempatan kepada pembuat tersebut untuk menyelesaikan perbuatannya (tidak memberi kesempatan kepada pembuat tersebut untuk menimbulkan akibat jahat perbuatannya), adalah sesuai dengan ide prevensi yang menjadi salah satu dasar penting dari pidana modern.
Sikap KUHPidana ini ternyata dari pasal 53 ayat 1 yang berbunyi “Percobaan akan melakukan kejahatan boleh dihukum, kalau maksud akan melakukan kejahatan itu sudah ternyata dengan permulaan membuat kejahatan itu dan perbuatan itu tidak diselesaikan hanyalah oleh sebab hal – ihwal yang tidak tergantung terhadap kehendaknya sendiri”. Lembaga hukum pidana yang dicantumkan dalam ketentuan ini terkenal dibawah nama percobaan atau poging.
 Tetapi KUHPidana juga tidak mau membatasi atau merampas kemerdekaan individu kalau hal itu tidak perlu. Oleh sebab itu, dalam pasal 54 ditentukan bahwa “Percobaan akan melakukan pelanggaran tiada boleh dihukum” . Jadi, hanya percobaan atas kejahatan-kejahatan (buku II KUHPidana) saja diancam dengan hukuman. Tetapi diantrara kejahatan itu ada 3 yang tidak mengenal suatu percobaan yang diancam dengan hukuman. Rasio pasal 184 pasal 5 KUHPidana adalah “menanders uit vrees voor bestraffing der betrokkenen er vn zou kunnen afgehouden worden de politie voor het tweegevecht tewaars chuwenPOMPE. Kalau hakim pidana diberi kemungkinan besar bahwa memulai melaksanakan tweegevecht itu, sebelum trejadinya akibat tweegevecht tersebut tidak dilaporkan kepada polisi karena orang takut akan dihukumnya akan dihukumnya yang bersangkutan. Ketentuan ini bagi Indonesia sangat penting, karena hukum adat di beberapa daerah masih mengenal tweegevecht itu sebagai suatu penyelesaian perselisihan, tidak hanya antara individu tetapi juga antara suku.
Pasal 302 ayat 4 KUHPidana dibuat karena terkecuali terhadap penganiayaan berat, pada umumnya percobaan atas penganiayaan tidak dianggap strafbaar. Dalam hal kejahatan penganiayaan maka fase percobaan tidak banyak berarti .
Dalam terjadinya delik kejahatan maka hukum pidana posistif membedakan antara dua fase, yaitu fase memulai pelaksanaan niat jahat, yg diberinama percobaan, dan fase terjadinya akibat. Dengan terjadinya akibat, maka delik kejahatan yang bersangkutan adalah suatu delik terselesai atau voltooid. kedua fase ini masing-masingnya, diancam dengan hukuman. oleh Van Hattum dikemukakan bahwa “elke delictsomschrijving bevat noodzakelijkraijs”.
Ketentuan-ketentuan pidana, yang mengatakan kelakuan-kelakuan mana merupakan delik, karena harus lengkap, selalu memberi lukisan-ukisan (omsrijvingen) tentang delik-delik terselesai. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat memberi lukisan tentang sebagian delik-delik saja. Penentuan perbuatan mana merupakan percobaan atas masing-masing kejahatan yang tercantum dalam masing-masing pasal KUHPidana, diserahkan kepada ilmu hukum pidana maupun jurisprudensi hukum pidana. Anasir-anasir percobaan yang dirumuskan dalam pasal 53 KUHP dilukiskan begitu “vaag” (gelap), sehingga penafsiran pasal 53 KUHP, yang biarpun mengandung kekurangan masih juga dapat dipakai sebagai pedoman telah menimbulkan banyak pendapat yang berbeda, lebih lagi kalau penafsiran pasal 53 KUHP itu diadakan berhubungan dengan secara tersendiri menentukan percobaan atas masing-masing kejahatan tersendiri yang tercantum dalam masing-masing pasal KUHP.
 Sebagai suatu “algemeen leerstuk” atau (pelajaran umum), percobaan itu diterima dan dilukiskan dalam pasal 53 ayat (1) KUHP. Anasir-anasir percobaan ini, sebagai suatu algemmeen leerstuk, supaya kita dapat memperoleh suatu pedoman dalam menentukan perbuatan-perbuatan mana yang merupakan percobaan atas masing-masing kejahatan yang tercantum dalam masing-masing pasal KUHP. Di samping itu, juga perbedaan antara delik formil dan materil menjadi suatu faktor penting menentukan bilamana suatu kelakuan masih hanya percobaan saja dan belum delik terselesai.

II.4    Perbuatan yang Seolah-olah atau Mirip dengan Percobaan
Ada beberapa perbuatan yang seolah – olah atau mirip dengan percobaan, perbuatan tersebut adalah ondeugdelijke poging (percobaan tidak mampu), mangel am tatbestand (kekurangan isi delik), putatief delict (delik putatif), delik manque (percobaan selesai), geseharste poging (percobaan tertunda) dan gequalificeerde poging (percobaan yang dikualifisir).
1.      Ondeudelijke Poging atau percobaan tidak mampu.
Dikatakan tidak mampu atau tidak sempurna karena alat atau objek kejahatan tersebut tidak sempurna atau tidak mampu menyebabkan tindak pidana yang dituju tidak mungkin terwujud. Akan tetapi banyak ahli masih mendebatkan istilah percobaan tidak mampu ini.
Contoh :   X bermaksud membunuh Y dengan cara menikam jantungnya, akan tetapi sebelum tikaman itu merobek jantung si Y telah mati terlebih dahulu karena serangan jantung. Di sini dapat disimpulkan bahwa Y adalah objek tidak sempurna.
Contoh 2: R bermaksud meracuni S dengan cara menaruh racun dalam kopinya, akan tetapi R keliru dan malah memasukkan gula. Di sini alatnya lah yang tidak sempurna.
Pada kedua contoh ini perbuatannya telah sempurna, hanya objek atau alatnya lah yang tidak sempurna. Andaikata objek atau alatnya telah sempurna maka korban yang dituju dapat meninggal. Oleh karena itu jika hal dan objek telah memenuhi syarat tetapi akibat kematian tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan pembunuhan atau percobaan mampu, bukan percobaan tidak mampu.
 Drs. Adami Chazawi meluruskan dalam bukunya yang berjudul ”Percobaan dan Penyertaan”, istilah ondeuglijke poging itu sebaiknya disebut dengan dua istilah. Apabila objeknya tidak sempurna maka sebut saja dengan istilah ’perbuatan yang objeknya tidak mampu’ dan apabila alatnya tidak sempurna sebut dengan ’perbuatan yang alatnya tidak mampu’. Tetapi dikarenakan istilah ondeuglijke poging itu sudah sangat lazim digunakan maka tidak ada salahnya tetap digunakan.
 Menurut doktrin hukum pidana, percobaan tidak mampu dibedakan antara :
a)      Percobaan tidak mampu karena objeknya tidak sempurna yang dibedakan antara:
1.      Objek yang tidak sempurna absolut:
Melakukan perbuatan untuk mewujudkan suatu kejahatan mengenai objek tertentu yang ternyata tidak sempurna, dan oleh karena itu maka kejahatan tidak terjadi dan tidak mungkin dapat terjadi.
Contoh : membunuh mayat.
2.      Objek yang tidak sempurna relatif:
Melakukan perbuatan yang ditujukan untuk mewujudkan kejahatan tertentu pada objek tertentu, yang pada umumnya dapat tercapai, tetapi dalam keadaan khusus tertentu objek tersebut menyebabkan kejahatan tidak terjadi. Contoh : membobol brankas yang kebetulan sedang tidak ada isinya.
b)      Percobaan tidak mampu karena alatnya yang tidak sempurna dibedakan antara:
1.      Alatnya yang tidak sempurna absolute:
Melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan, dengan menggunakan alatnya yang tidak sempurna mutlak, maka kejahatan itu tidak terjadi, dan tidak mungkin terjadi. Perbuatan ini tidak dapat melahirkan tindak pidana. Syarat – syarat yang telah ditentukan dalam pasal 53 ayat (1) tidak mungkin ada dalam alat yang tidak sempurna mutlak.
Contoh : menembak orang dengan pistol yang tak berpeluru.
2.      Alatnya yang tidak sempurna relative:
Melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan kejahatan dengan menggunakan alat yang tidak sempurna relatif, artinya kejahatan dapat terjadi dan dapat dipidana.
Contoh : meracuni orang dengan dosis kurang.

2.      Mangel am Tatbestand
Mangel am Tatbestand ini adalah suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur tindak pidana yang dituju. Disini telah terjadi kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak pidana.
Seseorang telah selesai melakukan suatu perbuatan, akan tetapi tidak terjadi kejahatan. Mangel am tatbestand ini berada di luar lapangan percobaan yang dapat dipidana.
Contoh : A mengambil barang yang dikira milik B, tapi ternyata barang tersebut miliknya sendiri.

3.      Putatief Delict
Pada Putatief Delict terjadi kesesatan hukum pada seseorang yang melakukan perbuatan dalam usahanya untuk mewujudkan tindak pidana. Putatief Delict bukanlah suatu tindak pidana dan juga bukan percobaan, melainkan suatu kesalahpahaman bagi orang yang melakukan suatu perbuatan yang dikiranya telah melakukan suatu tindak pidana, padahal sebenarnya bukan.
Contoh : orang asing yang melakukan perbuatan yang menurut hukum negaranya adalah perbuatan asusila di Indonesia, tetapi disini bukan merupakan tindak pidana.

4.      Percobaan selesai, percobaan tertunda dan percobaan yang dikualifisir
a)      Percobaan selesai (delict manque) adalah melakukan perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya sudah begitu jauh-sama seperti tindak pidana selesai, akan tetapi oleh sebab sesuatu hal tindak pidana itu tidak terjadi. Dikatakan percobaan karena tindak pidana itu tidak terjadi, dan dikatakan selesai karena pelaksanaan sesungguhnya sama dengan pelaksanaan yang dapat menimbulkan tindak pidana selesai.
Contoh: orang yang mau menembak orang lain, peluru telah ditembakkan tapi tembakannya meleset.
b)      Percobaan tertunda adalah percobaan yang perbuatan pelaksanannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan.
Contoh: seorang pencopet telah memasukkan tangannya ke dalam tas seorang perempuan dan telah memegang dompet sang perempuan, tiba – tiba perempuan itu sadar dan memukul tangan pencopet itu, menyebabkan terlepaslah dompet yang telah dipegangnya.
c)      Percobaan dikualifisir adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju.
Contoh : seseorang bermaksud membunuh temannya dengan pisau, akan tetapi setelah menikam si teman ternyata temannya tidak meninggal, hanya luka berat.

II.6    Contoh Kasus dan Analisisnya
         Contoh Kasus:
(PADANG 6 JUNI 2009) Dalam waktu dekat kasus percobaan pembunuhan dengan korban Iqbal (15), siswa SMK I Padang segera disidangkan. Berkas perkara beserta tersangka Fauzan Azima (17), dan barang bukti (BB) berupa belati, handphone, sandal dan pakaian korban telah dilimpahkan penyidik Polsek Padang Timur ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Padang, Jumat (5/6).
 Berkas dan tersangka berikut barang bukti kasus tersebut diserahkan kepada Eli Roza, SPd, SH, sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang selanjutnya akan menangani perkara tersebut. Terhadap tersangka yang telah menjalani penahanan di Polsek Padang Timur itu, JPU tetap melakukan penahanan. Untuk itu selanjutnya tersangka akan menjalani masa penahanan sementara di Rutan LP Muaro Padang.
 Kasi Pidum Kejari Padang Johandris, SH, menyatakan, setelah diterimanya berkas tahap II ini, maka selanjutnya JPU akan menyiapkan dakwaannya, agar kasusnya dapat dilimpahkan segera ke pengadilan. Tersangka yang sebelumnya telah pernah dihukum ini dijerat dengan pasal alternatif, dengan tuduhan telah melakukan percobaan pembunuhan, pasal 53 jo 338 jo 339 jo 340 KUHP, atau pasal penganiyaan berat, pasal 354 jo 355 KUHP, atau pencurian dengan kekerasan, pasal 365 KUHP.
 Selain itu anak ke 6 dari 7 bersaudara itu juga dijerat dengan tuduhan membawa senjata tajam tanpa izin, UU Darurat No 12 tahun 1955. Fauzan diduga telah melakukan percobaan pembunuhan terhadap Iqbal pada Selasa (5/5), menjelang Magrib lalu di WC Wanita Musala Jihad Kubu Dalam Padang.
 Di lembaran berkas acara pemeriksaan, penyidik membeberkan kronologis kejadian hingga tersangka mencoba kabur selama dua hari ke Pekanbaru, semuanya sudah dilengkapi dengan bukti-bukti. Sebilah belati yang digunakan untuk menggorok leher korban. Dari keterangan Fauzan, ia melarikan diri karena takut perbuatannya di ketahui warga. Setelah menggorok, tersangka langsung kabur ke Pekanbaru dengan menumpangi travel, lanjutnya tersangka mengakui menggorok leher korban dari depan, di dalam WC Musala dengan alasan sakit hati terhadap sikap korban yang menertawainya saat meminjam handphone korban. Merasa dilecehkan, tersangka akhirnya mengintai korban. Saat korban berada dekat pintu masuk kamar mandi musala, Fauzan mengancamnya dengan belati yang telah disiapkannya. Dia membawa Iqbal ke dalam WC wanita musala dan mengikat tangan Iqbal ke belakang. Kemudian tanpa belas kasihan ia langsung menebas lehernya. Setelah korban tersungkur, ia kembali mengarahkan belatinya ke arah korban. Selanjutnya terdakwa melarikan diri. (yan)
Sumber : edijarot.com

Analisis:
Pada kasus di atas, diterangkan bahwa tersangka bermaksud membunuh korban. Akan tetapi, korban ternyata tidak meninggal seperti yang diharapkan oleh tersangka. Oleh karena itu, kasus tersebut tidak memenuhi unsur dalam pasal 338 KUHPidana mengenai pembunuhan. Karena pembunuhannya tidak terselesaikan, maka perbuatan ini tergolong pada tindak pidana percobaan pembunuhan sebagaimana termuat dalam pasal 53 jo 338 jo 339 jo 340 KUHP.
 Pasal 53 mengenai percobaan berbunyi ”mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, buka semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Sementara pasal 338 memuat mengenai pembunuhan, yang berbunyi ”barangsiapa merampas nyawa oranglain, diancam karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.
 Pasal 339 berbunyi ”pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun”.
Sedangkan pasal 340 berbunyi ”barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebiih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau dengan pidana penjara seumur hidup, atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun”.
 Karena korban tidak meninggal dan mengalami luka berat, perbuatan ini memenuhi unsur dalam pasal 354 ayat (1) KUHP mengenai penganiayaan berat yang berbunyi ”barangsiapa sengaja melukai berat orang lain diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama 8 tahun” jo pasal 355 KUHPidana yang berbunyi ”penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”.


BAB III
KESIMPULAN

Percobaan adalah suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum terjadi. Percobaan dimuat dalam pasal 53 dan 54 KUHP . Syarat-syarat suatu tindakan termasuk ke dalam tindak percobaan adalah adanya niat, adanya permulaan pelaksanaan, pelaksanaan tidak selesai yang bukan disebabkan karena kehendak sendiri. Lembaga hukum percobaan diperlukan untuk menjamin adanya ketentraman individu.
 Ada beberapa perbuatan yang seolah – olah atau mirip dengan percobaan, perbuatan tersebut adalah ondeugdelijke poging (percobaan tidak mampu), mangel am tatbestand (kekurangan isi delik), putatief delict (delik putatif), delik manque (percobaan selesai), geseharste poging (percobaan tertunda) dan gequalificeerde poging (percobaan yang dikualifisir).
 Pada hakikatnya pasal 53 dan 54 selalu dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang merujuk pada perbuatan tersebut.





































PENYERTAAN (DEELNEMING)

1.            PENGERTIAN
Deelneming dapat diartikan sebagai terwujudnya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, yang mana antara orang yang satu dengan yang lainnya terdapat hubungan sikap batin dan/atau perbuatan yang sangat erat terhadap terwujudnya tindak pidana tersebut.
Menurut Chajawi Deelneming adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalianlah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang kesemuanya mengarah pada satu ialah terwuudnya tindak pidana.
Bisa diartikan juga bahwa Deelneming atau penyertaan adalah apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari 1 orang, sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing2 peserta dalam persitiwa tersebut. Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan.

2.            Sistem Pertanggung jawaban Pada Deelneming
Dari pengertian Deelneming di atas dan dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban pidananya, maka sebelum mengetahui bentuk pertanggungjawabannya, ada dua persoalan yang perlu dibahas sebelumnya:
a.      Mengenai diri orangnya , yaitu orang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimanakah dan atau yang bersikap batin bagaimana yang dapat dipertimbangkan dan dapat ditentukan sebagai terlibat dalam tindak pidana secara Deelneming, sehingga yang bersangkutan patut dipidana?
b.      Mengenai tanggug jawab pidana, yaitu apakah mereka para peserta yang terlibat pada suatu tindak pidana itu akan dipertanggungjawabkan sama ataukah berbeda sesuai dengan besar/kecilnya andil masing-masing terhadap terwujudnya tindak pidana.
Mengenai persoalan yang pertama (poin a). untuk dapat menentukan keterlibatan seseorang dalam tindak pidana yang dilakukan secara Deelneming, ada dua syarat yang harus dipenuhi:
*         Syarat Subjektif
Syarat Subjektif dibagi menjadi 2:
1.      Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana.
2.      Adanya hubungan batin (kesengaaan dengan mengetahui) antara dirinya dengan peserta lainnya dan bahkan dengan apa yang dilakukan oleh dia dan peserta lainnya.
*         Syarat Objektif
Syarat obyektif ialah bahwa perbuatan orang tersebut memiliki hubungan dengan terwujudnya tindak pidana, atau dapat dikatakan juga bahwa wuud perbuatan orang tersebut secara objektif ada perannya/pengaruh positif baik besar atau kecil, terhadap terwujudnya tindak pidana.
Dari pendekatan praktik, syarat pertama (subjektif) dapat saja berdiri sendiri, contohnya terhadap orang yang perbuatannya menyuruh melakukan (doen plegen) dan atau orang yang perbuatannya sengaja menganjurkan (uitlokken). Pada doen plegen dan uitlokken para pelakunya semata-mata hanya terlibat secara subjektif, sama sekali tidak secara obektif. Dalam artian bahwa pelaku doen plegen dan uitlokken tidak melakukan perbuatan fisik apapun dalam mewujudkan tindak pidana yang dikehendakinya.
Namun terhadap syarat yang kedua (objektif) tidak mungkin dapat berdiri sendiri, karena apabila berdiri sendiri, maka tidak akan dapat disebut sebagai penyertaan. Dengan demikian syarat objektif harus selalu melekat dengan syarat subektif pada tindak pidana yang dilakukan secara Deelneming.
Mengenai persoalan yang kedua (poin b), yakni sistem pertanggungjawaban pidananya. Mengenai Deelneming, dalam ilmu hukum pidana dikenal 2 sistem pertanggungjawaban pidana, yaitu:
a.      Doktrin pertanggungjawaban pidana hukum Romawi,
bahwa setiap orang yang terlibat bersama-sama kedalam suatu tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan tindak pidana, tanpa dibedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun atas sikap batinnya.
b.      Doktrin pertanggungawaban pidana hukum Italia,
masing-masing orang yang bersama-sama terlibat kedalam tindak pidana dipandang dan dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat ringannya disesuaikan dengan bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang terhadap tindak pidana yang terjadi.
Dari dua doktrin pertanggungawaban pidana tersebut, hukum pidana Indonesia mengadopsi kedua-duanya, yang lazim disebut sistem campuran. Dikatakan demikian, karena sebagaimana diketahui bahwa dalam hukum pidana Indonesia yang diatur dalam KUHP, Deelneming dikelompokkan kedalam 2 kelompok, yaitu:
1)      Para pembuat (mededader) diatur dalam Pasal 55 KUHP dan
2)      Pembuat pembantu (medeplichtige) diatur dalam Pasal 56 KUHP.
Terhadap para pembuat (mededader) orang-orang yang terlibat di dalamnya ancaman pertanggungjawaban pidananya disamakan, sedangkan terhadap para pembuat pembantu (medeplichtige) ancaman pertanggungjawaban pidananya lebih ringan dari pada para pembuat (mededader), yakni menurut Pasal 57 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa “dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga”.

3.            Bentuk-Bentuk Deelneming
Sebelum membahas mengenai bentuk-bentuk penyertaan, perlu diperhatikan rumusan Pasal 55 dan 56 KUHP.
Rumusan Pasal 55 berbunyi:
(1)   Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
1.      Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut serta melakukan;
2.      Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2)   Terhadap penganjur, hanya perbuatan, yang sengaja diajurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Rumusan Pasal 56 KUHP berbunyi:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1.      Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan yang dilakukan;
2.      Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari kedua pasal tersebut (Pasal 55 dan 56) tersebut, dapat diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu dibedakan dalam 2 kelompok, yaitu:
1.      Pertama adalah kelompok yang disebut sebagai para pembuat (mededaer), (Pasal 55 KUHP) yaitu:
a.      Yang melakukan (plegen), orangnya (pleger)
b.      Yang menyuruh melakukan (doen plegen) orangnya (doen pleger)
c.       Yang turut serta melakukan (mede plegen) orangnya (mede pleger)
d.      Yang menganjurkan (uitlokken) orangnya (uitlokker).
2.      Kedua, yaitu orang yang disebut sebagai pembuat pembantu (medeplichtige) (Pasal 56 KUHP), yakni:
a.      pemberi bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan
b.      pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

PARA PEMBUAT (MEDEDAER)
a)            Yang melakukan (plegen) orangnya (pleger)
Siapa yang dimaksud dengan mereka yang melakukan? Atau dengan syarat-syarat apa seseorang yang terlibat dalam tindak pidana secara Deelneming disebut sebagai orang yang melakukan/pembuat pelaksana? Undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang kriteria untuk dapat disebut sebagai ‘mereka yang melakukan’/ pembuat pelaksana ini. Namun dari berbagai pendapat para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan seseorang sebagai yang melakukan (pleger)/pembuat pelaksana tindak pidana secara penyertaan adalah dengan 2 kriteria:
1)      perbuatannya adalah perbuatan yang menetukan terwujudnya tindak pidana,
2)      perbuatannya tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana.
Mereka yang melakukan (pembuat pelaksana: pleger) adalah orang yang melakukan sendiri suatu perbuatan yang memenuhi semua unsur delik. Perbedaan dengan dader adalah pleger dalam melakukan tindak pidana masih diperlukan keterlibatan orang lain minimal 1 orang, misalnya pembuat peserta, pembuat pembantu, atau pembuat penganjur.
Dalam tindak pidana formil, plegernya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana ybs.
Dalam tindak pidana materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat yang dilarang oleh uu.

b)            Yang menyuruh melakukan (doen plegen) orangnya (doen pleger)
Undang-undang tidak menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan yang menyuruh melakukan itu. Untuk mencari pengertian dan syarat untuk dapat ditentukan sebagai orang yang melakukan (doen pleger), pada umumnya para ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda, yang berbunyi bahwa “yang menyuruh melakukan adalah dia juga yang melakukan tindak pidana, tapi tidak secara pribadi melainkan dengan perantara orang lain sebagai alat di dalam tangannya apa bila orang lain itu melakukan perbuatan tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggungjawab, karena sesuatu hal yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan”.
a.      Orang lain sebagai alat di dalam tangannya
Yang dimaksud dengan orang lain sebagai alat di dalam tangannya adalah apabila orang/pelaku tersebut memperalat orang lain untuk melakukan tindak pidana. Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis pembuat penyuruh tidak melakukan perbuatan aktif.
Dalam doktrin hukum pidana orang yang diperalat disebut sebagai manus ministra sedangkan orang yang memperalat disebut sebagai manus domina juga disebut sebagai middelijke dader (pembuat tidak langsung).
Ada tiga konsekuensi logis, terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan cara memperalat orang lain:
§  Terwujudnya tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh pembuat penyuruh, tetapi leh perbuatan orang lain (manus ministra);
§  Orang lain tersebut tidak bertanggungjawab atas perbuatannya yang pada kenyataannya telah melahirkan tindak pidana;
§  Manus ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah pembuatan penyuruh.


b.      Tanpa kesengajaan
Yang dimaksud dengan tanpa kesengajaan atau tanpa kealpaan adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang disuruh (manus ministra) tidak dilandasi oleh kesengajaan untuk mewujudkan tindak pidana, juga terjadinya tindak pidana bukan karena adanya kealpaan, karena sesungguhnya inisiatif perbuatan datang dari pembuat penyuruh, demikian juga niat untuk mewujudkan tindak pidana itu hanya berada pada pembuat penyuruh (doen pleger).

c.       Karena tersesatkan
Yang dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau kesalahpahaman akan suatu unsur tindak pidana yang disebabaklan oleh pengaruh dari orang lain dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas kesalahpahaman itu maka memutuskan kehendak untuk berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain itu timbul kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan pembuat penyuruh sendiri.

d.      Karena kekerasan
Yang dimaksud dengan kekerasan (geweld) di sini adalah perbuatan yang dengan menggunakan kekerasan fisik yang besar, yang in casu ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu tidak berdaya.

Dari apa yang telah diterangkan di atas maka jelaslah bahwa orang yang disuruh melakukan tidak dapat dipidana. Di dalam hukum orang yang disuruh melakukan ini dikategorikan sebagai manus ministra, sementara orang menyuruh melakukan dikategorikan manus domina.
Menurut Moeljatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dipidananya orang yang disuruh, karena:
1)      tidak mempunyai kesengaaan, kealpaan ataupun kemampuan bertanggungjawab;
2)      berdasarkan Pasal 44 KUHP;
3)      daya paksa Pasal 48 KUHP;
4)      berdasarkan Pasal 51 ayat 2 KUHP; dan
5)      orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP).

c)            Yang turut serta melakukan (mede plegen) orangnya (medepleger)
Tentang siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger), oleh MvT dijelaskan bahwa yang turut serta melakukan ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana. Penelasan MvT ini, merupakan penjelasan yang singkat yang masih membutuhkan penjabaran lebih lanjut.
Dari berbagai pandangan para ahli tentang bagaimana kategori untuk menentukan pembuat peserta (medepleger), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk menentukan seseorang sebagai pembuat peserta yaitu apabila perbuatan orang tersebut memang mengarah dalam mewujudkan tindak pidana dan memang telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana (pleger) untuk mewujudkan tindak pidana tersebut.
Perbuatan pembuat peserta tidak perlu memenuhi seluruh unsur tindak pidana, asalkan perbuatannya memiliki andil terhadap terwuudnya tindak pidana tersebut, serta di dalam diri pembuat peserta telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat pelaksana untuk mewujudkan tindak pidana.

d)            Yang menganjurkan (uitlokken) orangnya (uitlokker)
Orang yang sengaja mengajurkan, seperti juga pada orang yang menyuruh lakukan (doen pleger) tidak mewujudkan tindak pidana secara materil, tetapi melalui orang lain.
Pasal 55 ayat (1) ke-2 berbunyi: “mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan sengaja menganurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”.  Apabila rumusan ini dirinci, maka unsur-unsurnya adalah:
1)      Unsur objektif: menganjurkan orang lain melakukan perbuatan, dengan menggunakan cara:
v  memberikan sesuatu;
v  menjanjikan sesuatu;
v  menyalahgunakan kekuasaan;
v  menyalahgunakan martabat;
v  dengan kekerasan;
v  dengan ancaman;
v  dengan penyesatan;
v  dengan memberi kesempatan;
v  dengan memberikan sarana;
v  dengan memberikan keterangan
2)      Unsur subjektif: dengan sengaja

Satu hal yang perlu diingat disini adalah bahwa, dalam penganjuran ini, baik orang yang menganjurkan maupun orang yang dianurkan, dipidana.
Perbedaan antara pembuat penyuruh (doen pleger) dengan pembuat penganjur (uitloker) ini adalah pada pembuat penyuruh, orang yang disuruh tidak dipidana, sedangkan pada pembuat penganjur, baik penganjur (uitloker) maupun orang yang dianjurkan dipidana. 
Ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur:
1)      kesengajaan si pembuat penganjur yang harus ditujukan pada 4 hal:
1.      ditujukan pada digunakannya upaya2 penganjuran
2.      ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya
(point 1 dan 2 kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan menganjurkan dengan upaya2, dan akibat dari perbuatan tersebut, serta terjadi hubungan sebab akibat)
3.      ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan). Kesengajaan itu hrs ditujukan agar orang lain itu melakukan tindak pidana. Contoh: A dengan menjanjikan upah sebesar 20 juta kepada B untuk membunuh C. perbuatan yang dimaksud adalah tindak pidana pembunuhan. Di sini kesengajaan A ditujukan pada orang lain (dalam hal ini B) untuk melakukan pembunuhan.
4.      ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana. (hal ini penting untuk membedakan dengan pembuat penyuruh ( doen pleger).

2)      dalam melakukan perbuatan meganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana Pasal 55 (1) angka 2.
Tidaklah boleh dengan menggunakan upaya lain, misalnya menghimbau. Hal ini yang membedakan antara pembuat penganjur dengan pembuat penyuruh. Pada pembuat penyuruh dapat menggunakan segala cara, asalkan pembuat materiilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
a.      Memberikan sesuatu;
sesuatu di sini hrs berharga, sebab kalau tidak tidak berarti apa-apa/tidak dapat mempengaruhi orang yang dianjurkan. Misalnya uang, mobil, pekerjaan dsb. A memberikan uang 10 jt kepada B untuk membunuh C
b.      Menjanjikan sesuatu;
janji adalah upaya yang dapat menimbulkan kepercayaan bagi orang lain, janji itu belum diwujudkan, tetapi janji itu telah menimbulkan kepercayaan untuk dipenuhi. A berjanji kepada B akan memberikan uang jika berhasil membunuh C
c.       Menyalahgunakan kekuasaan;
menyalahgunakan kekuasaan : adalah menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara salah. Kekuasaan ini adalah kekuasaan dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan. Oleh karena itu upaya menyalahgunakan kekuasaan di sini diperlukan 2 syarat:
1.      upaya ini digunakan dalam hal yang berhubungan atau dalam ruang lingkup tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan dan orang yang ada di bawah pengaruh kekuasaan (orang yang dianjurkan)
2.      hubungan kekuasaan itu harus ada pada saat dilakukannya upaya penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan. Apabila hubungan kekuasaan itu telah putus, maka tidak terdapat penganjuran, karenanya pelaku mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya.
d.      Menyalahgunakan martabat;
martabat di sini misalnya orang yang mempunyai kedudukan terhormat, misalnya tokoh politik, pejabat publik, sperti camat, todat, toga, tomas. Kedudukan seperti itu mempunyai kewibawaan yang dapat memberikan pengaruh pada masyarakat atau orang2, pengaruh tsb dapat disalahgunakan. (menyalahgunakan martabat)
e.      Menggunakan kekerasan;
menggunakan kekuatan fisik pada orang lain sehingga menimbulkan akibat ketidak berdayaan orang yang menerima kekerasan itu. Tetepi syaratnya adalah berupa ketidakberdayaan yang sifatnya sedemikian rupa sehingga dia masih memiliki kesempatan dan kemungkinan cukup untuk melawan kekerasan itu tanpa resiko yang terlalu besar (menolak segala apa yang dianjurkan).
f.        Menggunakan ancaman;
Ancaman adalah suatu paksaan yang bersifat psikis yang menekan kehendak orang sedemikian rupa sehingga dia memutuskan kehendak untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh orang yang mengancam. Ancaman juga menimbulkan ketidakberdayaan, tetapi tidak bersifat fisik, melainkan psikis, misalnya menimbulkan rasa ketakutan, rasa curiga, was-was. Misalnya akan dilaporkan akan dibuka rahasianya. Ancaman di sini juga hrs dapt menimbulkan kepercayaan bhw yang diancamkan itu akan diwujudkan oleh pengancam. Sebab kalau tidak ada kepercayaan, misalnya hanya bercanda saja, maka hanya pembuat materiilnya saja yang dipidana.
g.      Menggunakan penyesatan (kebohongan);
berupa perbuatan yang sengaja dilakukan untuk mengelabui atau mengkelirukan anggapan atau pendirian orang dengan segala sesuatu yang isinya tidak benar atau bersifat palsu, sehingga orang itu menjadi salah atau keliru dalam pendirian.
Perbedaan penyesatan dalam pembuat penyuruh dan pembuat penganjur adalah:
1.      penyesatan pada bentuk pembuat pembuat penyuruh adalah penyesatan yang ditujukan pada unsur tindak pidana, misal penjahat yang menyuruh kuli untuk menurunkan sebuah kopor milik orang lain. Tetapi penyesatan pada pembuat pengajur tidaklah ditujukan pada unsur tindak pidana tetapi ditujukan pada unsur motif tindak pidana. Contoh A sakit hati pada C dan karenanya A mengehndaki agar C mengalami penderitaan. Untuk itu A menyampaikan berita bohong yang menyesatkan B bahwa C telah berslingkuh dengan isterinya B dengan membuat alibi (pernyataan) palsu, dan dengan sangat meyakinkan A menganjurkan kepada B agar membunuh atau dianiaya saja C. penyesatan di sini adalah ditujukan pada motif agar B sakit hati dan membenci C, atau memberikan dorongan agar timbul sakit hati, benci dan dendam pada B, sehingga mendorong B untuk melakukan sesuai dengan kehendak A. apabila B tersesat dalam pendirian dan kemudian membunuh atau menganiaya C maka terjadi bentuk pembuat penganjur.
2.      Berbuat karena tersesat dalam hal unsur tindak pidana, pembuatnya tidak dapat dipidana. Di sini terjadi bentuk pembuat penyuruh yang dipidana adalah pembuat penyuruhnya. Pembuat materiilnya tidak dapat dipidana. Tetapi berbuat karena tersesat dalam hal unsur motif, yang terjadi adalah bentuk pembuat penganjur, dimana keduanya sama2 dapat dipidana.
h.      Memberikan kesempatan;
adalah memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi orang lain untuk melakukan tindak pidana. Ex: A penjaga gudang yang menganjurkan kepada B untuk mencuri di gudang dengan kespakatan pembagian hasilnya, sengaja memberi kesempatan kepada B untuk mencuri dengan berpura-pura sakit sehingga pada malam itu dia absen dari tugasnya.
i.        Memberikan sarana;
berupa memberikan alat atau bahan untuk digunakan dalam melakukan tindak pidana. Misalnya A penjaga gudang sengaja menganjurkan pada B untuk mencuri di gudang dengan kesepakatan bagi hasil dengan cara memberikan kunci duplikat.
j.        Memberikan keterangan.
memberikan informasi, berita-berita yang berupa kalimat yang dapat menarik kehendak orang lain sehingga orang yang menerima informasi itu timbul kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana, yang kemudian tindak pidana itu benar dilaksanakan.

3)      terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat peklaksananya) untuk meakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya2 penganjuran oleh si pembuat penganjur.
Di sini terjadi hubungan sebab akibat. Sebab adalah digunakan upaya penganjuran, dan akibat adalah terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan. Jadi jelaslah inisiatif dalam hal penganjuran selalu dan pasti berasal dari pembuat penganjur. Hal ini pula yang membedakan dengan bentuk pembantuan. Pada pembantuan (pasal 56) inisiatif untuk mewujudkan tindak pidana selalu berasal dari pembuat pelaksananya, dan bukan dari pembuat pembantu.

4)      orang yang dianjurkan (pembuat pelaksanaanya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan.

5)      orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggung jawab.


DAFTAR PUSTAKA
  • Adami Chajawi, Percobaan & Penyertaan (Pelajaran Hukum Pidana Bagian), Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
  • KUHP
  • Moeljatno, Hukum Pidana Delik Delik Percobaan Dan Delik Delik Penyertaan,(Jakarta:BinaAksara,1985).
  • Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan &Penyertaan,(Jakarta:RajaGrafindo,2002).
  • P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia,(Bandung:SinarBaru,1983),