Percobaan (Poging)
dalam Hukum Pidana
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar
Belakang
Dewasa ini banyak
sekali terdapat kasus percobaan yang terjadi di masyarakat kita, baik kasus
percobaan pencurian, percobaan pembunuhan, sampai percobaan pemerkosaan
terjadi. Masyarakat seringkali keliru dalam mengartikan apa itu percobaan.
Dalam kenyataannya, masyarakat masih memiliki tanda tanya besar mengapa
percobaan harus dipidana. Padahal, tindak pidana yang dimaksud tidak sempat terjadi.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai percobaan secara rinci
agar tidak terjadi kekeliruan lebih lanjut saat memahami apa itu percobaan.
I.2 Identifikasi
Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan percobaan?
2.
Dimanakah
ketentuan mengenai percobaan diatur?
3.
Apakah
syarat-syarat untuk mengatakan bahwa tindakan tersebut termasuk dalam tindakan
percobaan kejahatan?
4.
Mengapa
lembaga percobaan diperlukan?
5.
Apa
saja perbuatan-perbuatan yang seolah-seolah atau mirip percobaan?
6.
Berikan
contoh kasus percobaan dan analisisnya!
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Percobaan
dan Ketentuannya
Dari segi tata
bahasa, istilah percobaan adalah usaha hendak berbuat atau melakukan sesuatu
dalam keadaan diuji (Poerwodarminto, 1976:209). Menurut Wirjono, pada umumnya,
kata percobaan atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan,
yang pada akhirnya tidak atau belum terjadi. Pengertian menurut tata bahasa di
atas tidaklah dapat digunakan sebagai ukuran dari percobaan (melakukan
kejahatan) sebagaimana dalam hukum pidana. Di dalam undang-undang tidak
dijumpai definisi atau pengertian tentang apa yang dimaksud dengan percobaan
(poging).
Pasal 53 ayat 1
KUHP didalam merumuskan perihal pengertian mengenai percobaan, melainkan
merumuskan tentang syarat – syarat untuk dapat dipidananya bagi orang yang
melakukan percobaan kejahatan. Pengertian menurut tata bahasa tersebut diatas
tidaklah dapat digunakan sebagai ukuran percobaan kejahatan sebagaimana dalam
hukum pidana. Menurut hukum pidana untuk terjadinya percobaan sehingga dapat
dipidana mempunyai ukuran yang khusus dan lain dari ukuran percobaan menurut
arti tata bahasa.
Ukuran percobaan
menurut arti tata bahasa ialah bahwa dalam percobaan melakukan kejahatan yang
dapat dipidana, si pembuat telah memulai melakukan perbuatan yang perbuatan
mana tidak menjadi selesai. Tetapi dalam hukum pidana untuk dapatnya dipidana
bagi si pembuat pencoba kejahatan,tidaklah cukup demikian tetapi jauh lebih
luas baik dari sudut subjektif si pembuat maupun sudut objektif perbuatannya
yang walaupun baru dimulai tersebut.
II.2 Syarat
– Syarat Percobaan Kejahatan
Syarat – syarat yang harus dipenuhi
untuk percobaan kejahatan ialah :
1.
Adanya
Niat;
Bagaimanakah maksud itu harus
ditafsirkan ? bagian terbesar pengarang-pengarang mempersamakan “maksud” dengan
“sengaja” (opzettelijk) dalam segala bentuknya. Tetapi dalam hal
kesengajaan yang mana,disini telah menimbulkan perbedaan pandangan, walaupun
pada umumnya para pakar hukum berpendapat luas,ialah terhadap semua bentuk
kesengajaan. Demikian juga dalam praktik hukum mengikuti pandangan sebagian
besar para pakar hukum dengan menganut pendapat yang luas. Pendapat sempit
telah dianut oleh VOS yang memberikan arti niat sebagai kesengajaan sebagai
tujuan saja.
Sebagaimana dalam doktrin
hukum,menurut tingkatan kesengajaan ada 3 macam:
a.
Kesengajaan
sebagai maksud atau tujuan yang dapat juga disebut kesengajaan dalam arti
sempit
b.
Kesengajaan
sebagai kepastian atau kesadaran/keinsyafan mengenai perbuatan yang disadari
sebagai pasti menimbulkan suatu akibat
c.
Kesengajaan
sebagai kemungkinan atau suatu kesadaran/keinsyafan mengenai suatu perbuatan
terhadap kemungkinan timbulnya suatu akibat dari suatu perbuatan, disebut juga
dengan dolus eventualis.
Para ahli hukum yang lain berpendapat
bahwa niat adalah kesengajaan dalam semua bentuknya. Bagi Satochid bahwa
dalam doktrin hukum dan yurisprudensi voornemen harus ditafsirkan sebgai
kehendak, de wil atau lebih tepat dengan opzet. Dari apa yang dikatakan
beliau maka dapat disimpulkan bahwa beliau menganut pandangan bahwa voornemen
harus diartikan sebagai opzet. Dalam arti sempit,opzet adalah
kesengajaan sebagai maksud adalah sesuai dengan arti voornemen dalam
arti bahasa sehari-hari dan dalam arti luas adalah termasuk ketiga macam bentuk
opzet.
Wirjono mendukung pendapat bahwa niat
disini adalah termasuk juga kesengajaan sebagai kemungkinan. Menurut Hazewinkel
Suringa niat ini adalah rencana untuk mengadakan perbutan tertentu dalam
keadaan tertentu pula didalam pikiran. Dalam rencana itu selain mengandung apa
yang dimaksud, juga mengandung gambaran tentang cara bagaimana akan
dilaksanakannya dan tentang akibat-akibat tambahan yang tidak diingini
tapi yang dapat diperkirakan akan terjadi pula.
Menurut Moeljatno niat tidak boleh
diartikan sebagai kesengajaan dan isinya juga tidak bisa ditentukan dari
isinya kesengajaan. Niat yang belum diwujudkan dalam bentuk perbuatan adalah
berupa sikap batin yang memberi arah kepada apa yang akan diperbuat.
Niat dapat dipandang dua sudut,yaitu pertama: niat dalam arti bahsa sehari-hari
pada umumnya yang tidak perlu dikaitkan pada hukum pidana (dalam hubungannya
dengan melakukan tindak pidana atau melakukan percobaan kejahatan) dan kedua:
niat dalam hubungannya dengan tindak pidana maupun percobaan kejahatan. Untuk
hal yang pertama,niat mempunyai arti yang sama dengan apa yang dikatakan oleh
Moeljatno ialah “sikap batin seseorang yang member arah kepada apa yang akan
diperbuatnya” dan ini lebih condong pada arti sebagai apa yang ingin dicapai
atau maksud yang masih murni didalam batin seseorang. Niat dalam artian
demikian tidak mempunyai arti apa-apa dari sudut hukum pidana. Tetapi dalam
perngertian yang kedua yaitu dalam hal percobaan kejahatan tidaklah sekedar
demikian artinya,karena niat disini adalah harus diliat dari sudut
hubungannya dengan percobaan kejahatan yang dipidana khususnya dalam
hubungannya mencoba melakukan kejahatan pidana maupun dnegan kalimat
dibelakangnya “telah ternyata dari adanya permulaan pelaksaanan” dalam rumusan
pasal 53 ayat 1 tentang syarat-syarat dipidananya melakukan percobaan
kejahatan.
Oleh sebab sikap batin disini tidak boleh
lepas dalam hubungannya dengan syarat untuk dapat dipidananya si pembuat tindak
pidana (sudut subyektif) ialah harus ada kesalahan (kesengajaan atau kealpaan)
pada diri si pembuat yang pula bersumber pada asas tiada pidana tanpa kesalahan
yang menyebutkan bahwa niat dalam hal percobaan kejahatan adalah kesalahan
dalam bentuk kesengajaan khususnya kesengajaan sebagai maksud. Sikap batin mengetahui
adalah termasuk segala yang diketahui atau disadari tentang perbuatan yang
(akan) dilakukan beserta akibatnya, dan ini artinya termasuk kesengajaan
sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan atau dolus eventualis.
2.
Adanya
Permulaan Pelaksanaan;
“Bagaimanakah memulai melaksanakan”
itu harus ditafsirkan ? dalam ilmu hukum pidana maupun jurisprudensi hukum
pidana diadakan perbedaan antara perbuatan persiapan misalnya, perbuatan
membeli sebuah pistol, dan perbuatan melaksanakan seperti pebuatan mengarahkan
pistol itu kepada yang hendak membunuh. Perbuatan persiapan itu dianggap tidak strafbaar
sedangkan perbuatan melaksanakan yang dianggap inti dari percobaan, adalah
suatu perbuatan yang strafbaar. Jadi, persoalan penting dalam hal
percobaan adalah persoalan tentang perbuatan mana yang hanya merupakan
perbuatan persiapan saja, yakni perbuatan yang tidak strafbaar.
Teori percobaan ada 2, yaitu teori percobaan
subjektif dan teori percobaan objektif. Dasar teori percobaan subjektif adalah
dari kehendak atau watak (mentalitet) pembuat. Teori percobaan objektif
melihat dasar strafbaarheid (dapat dihukumnya) percobaan dalam suatu
perbuatan yang melanggar ketertiban hukum umum. Pompe mengemukakan bahwa
tentang teori percobaan objektif ada 2 tipe :
a.
Percobaan
perbuatan adalan strafbaar karena perbuatan itu termasuk lukisan delik
dalam undang-undang.
Pendapat ini dikemukakan oleh Zeven Bergen
dan Duinstee. Pendapat ini sesuai dengan sejarah ketentuan dalam pasal
53 KUHPidana. Zeven Bergen mengemukakan pendapat sebagai berikut: karena
undang-undang memperhatikan, maka tiap perbuatan percobaan yaitu tiap perbuatan
melaksanakan, dengan sendirinya merupakan sebagian dari delik terselesai.
Dengan kata lain, apabila perbuatan yang bersangkutan (perbuatan melaksanakan)
telah memenuhi sebagian dari lukisan delik dalam undang-undang, maka perbuatan
itu merupakan suatu strafbaare poging.
b.
Perbuatan
percobaan (perbuatan melaksanakan) adalah strafbaar, Karena perbuatan
itu secara objektif merupakan bahaya (objektief gevaarlijk).
Artinya, pendapat ini dirumuskan oleh Von
Feueur Bach: percobaan itu strafbaar, karena antara perbuatan
percobaan dan kejahatan yang hendak dilakukan adalah suatu hubungan sebab
menyebab, dan oleh sebab itu ditinjau dari sudut objektif perbuatan tersebut
membahayakan. Terang sekali apa yang dapat dilihat di atas bahwa “perbuatan persiapan”
dan “perbuatan melaksanakan”, dalam ilmu hukum pidana bergantung pada teori
yang dianut. mereka yang menganut suatu teori percobaan yang subjektif, hanya
dapat menentukan batas tiap perkara percobaan satu persatu (masing-masing).
Jadi, mereka tidak dapat menentukan suatu batas yang tetap dan umum untuk suatu
tipe perkara percobaan yang tertentu. mereka yang menganut teori percobaan
objektif umumnya dapat menentukan suatu batas “tetap dan umum” untuk suatu tipe
percobaan tertentu.
3.
Pelaksanaan
tidak selesai yang bukan disebabkan karena kehendak sendiri.
II.3 Perlunya
Lembaga Hukum Percobaan
Dalam menjamin
ketentraman individu terhadap niat jahat dari beberapa diantara sesama
individu, maka hukum pidana positif tidak mengambil resiko, terkecuali dalam
hal beberapa kejahatan, seperti yang tercantum dalam pasal-pasal 182 djb
(lihatlah pasal 184 ayat 5, pasal 351 ayat 4 dan pasal 352 ayat 2) maka
KUHPidana, dengan menjatuhkan suatu hukuman, tidak menunggu sampai terjadinya
akibat kejahatan yang sedang dilakukan (khusus dalam hal delik materil).
KUHPidana telah sanggup menjatuhkan hukuman atas perbuatan memulai melaksanakan
suatu niat yang jahat. Sikap KUHPidana ini, yaitu sanggup telah menghukum
pembuat yang baru saja memulai melaksanakan niat jahat dan tidak memberi
kesempatan kepada pembuat tersebut untuk menyelesaikan perbuatannya (tidak
memberi kesempatan kepada pembuat tersebut untuk menimbulkan akibat jahat
perbuatannya), adalah sesuai dengan ide prevensi yang menjadi salah satu dasar
penting dari pidana modern.
Sikap KUHPidana
ini ternyata dari pasal 53 ayat 1 yang berbunyi “Percobaan akan melakukan
kejahatan boleh dihukum, kalau maksud akan melakukan kejahatan itu sudah
ternyata dengan permulaan membuat kejahatan itu dan perbuatan itu tidak diselesaikan
hanyalah oleh sebab hal – ihwal yang tidak tergantung terhadap kehendaknya
sendiri”. Lembaga hukum pidana yang dicantumkan dalam ketentuan ini terkenal
dibawah nama percobaan atau poging.
Tetapi KUHPidana juga tidak mau membatasi atau
merampas kemerdekaan individu kalau hal itu tidak perlu. Oleh sebab itu, dalam
pasal 54 ditentukan bahwa “Percobaan akan melakukan pelanggaran tiada
boleh dihukum” . Jadi, hanya percobaan atas kejahatan-kejahatan (buku II
KUHPidana) saja diancam dengan hukuman. Tetapi diantrara kejahatan itu ada 3
yang tidak mengenal suatu percobaan yang diancam dengan hukuman. Rasio pasal
184 pasal 5 KUHPidana adalah “menanders uit vrees voor bestraffing der
betrokkenen er vn zou kunnen afgehouden worden de politie voor het tweegevecht
tewaars chuwen” POMPE. Kalau hakim pidana diberi kemungkinan besar
bahwa memulai melaksanakan tweegevecht itu, sebelum trejadinya akibat tweegevecht
tersebut tidak dilaporkan kepada polisi karena orang takut akan dihukumnya akan
dihukumnya yang bersangkutan. Ketentuan ini bagi Indonesia sangat penting,
karena hukum adat di beberapa daerah masih mengenal tweegevecht itu
sebagai suatu penyelesaian perselisihan, tidak hanya antara individu tetapi
juga antara suku.
Pasal 302 ayat 4
KUHPidana dibuat karena terkecuali terhadap penganiayaan berat, pada umumnya
percobaan atas penganiayaan tidak dianggap strafbaar. Dalam hal
kejahatan penganiayaan maka fase percobaan tidak banyak berarti .
Dalam terjadinya
delik kejahatan maka hukum pidana posistif membedakan antara dua fase, yaitu
fase memulai pelaksanaan niat jahat, yg diberinama percobaan, dan fase
terjadinya akibat. Dengan terjadinya akibat, maka delik kejahatan yang
bersangkutan adalah suatu delik terselesai atau voltooid. kedua fase ini masing-masingnya, diancam dengan hukuman.
oleh Van Hattum dikemukakan bahwa “elke delictsomschrijving bevat
noodzakelijkraijs”.
Ketentuan-ketentuan
pidana, yang mengatakan kelakuan-kelakuan mana merupakan delik, karena harus
lengkap, selalu memberi lukisan-ukisan (omsrijvingen) tentang
delik-delik terselesai. Ketentuan-ketentuan tersebut tidak dapat memberi
lukisan tentang sebagian delik-delik saja. Penentuan perbuatan mana merupakan
percobaan atas masing-masing kejahatan yang tercantum dalam masing-masing pasal
KUHPidana, diserahkan kepada ilmu hukum pidana maupun jurisprudensi hukum
pidana. Anasir-anasir percobaan yang dirumuskan dalam pasal 53 KUHP dilukiskan
begitu “vaag” (gelap), sehingga penafsiran pasal 53 KUHP, yang biarpun
mengandung kekurangan masih juga dapat dipakai sebagai pedoman telah
menimbulkan banyak pendapat yang berbeda, lebih lagi kalau penafsiran pasal 53
KUHP itu diadakan berhubungan dengan secara tersendiri menentukan percobaan
atas masing-masing kejahatan tersendiri yang tercantum dalam masing-masing
pasal KUHP.
Sebagai suatu “algemeen leerstuk” atau
(pelajaran umum), percobaan itu diterima dan dilukiskan dalam pasal 53 ayat (1)
KUHP. Anasir-anasir percobaan ini, sebagai suatu algemmeen leerstuk, supaya kita dapat memperoleh suatu pedoman dalam
menentukan perbuatan-perbuatan mana yang merupakan percobaan atas masing-masing
kejahatan yang tercantum dalam masing-masing pasal KUHP. Di samping itu, juga
perbedaan antara delik formil dan materil menjadi suatu faktor penting
menentukan bilamana suatu kelakuan masih hanya percobaan saja dan belum delik
terselesai.
II.4 Perbuatan
yang Seolah-olah atau Mirip dengan Percobaan
Ada
beberapa perbuatan yang seolah – olah atau mirip dengan percobaan, perbuatan
tersebut adalah ondeugdelijke poging (percobaan tidak mampu), mangel
am tatbestand (kekurangan isi delik), putatief delict (delik
putatif), delik manque (percobaan selesai), geseharste poging (percobaan
tertunda) dan gequalificeerde poging (percobaan yang dikualifisir).
1.
Ondeudelijke
Poging atau percobaan
tidak mampu.
Dikatakan tidak
mampu atau tidak sempurna karena alat atau objek kejahatan tersebut tidak
sempurna atau tidak mampu menyebabkan tindak pidana yang dituju tidak mungkin
terwujud. Akan tetapi banyak ahli masih mendebatkan istilah percobaan tidak
mampu ini.
Contoh
: X bermaksud membunuh Y dengan cara
menikam jantungnya, akan tetapi sebelum tikaman itu merobek jantung si Y telah
mati terlebih dahulu karena serangan jantung. Di sini dapat disimpulkan bahwa Y
adalah objek tidak sempurna.
Contoh
2: R bermaksud meracuni S dengan cara
menaruh racun dalam kopinya, akan tetapi R keliru dan malah memasukkan gula. Di
sini alatnya lah yang tidak sempurna.
Pada kedua contoh
ini perbuatannya telah sempurna, hanya objek atau alatnya lah yang tidak
sempurna. Andaikata objek atau alatnya telah sempurna maka korban yang dituju
dapat meninggal. Oleh karena itu jika hal dan objek telah memenuhi syarat
tetapi akibat kematian tidak terjadi, yang terjadi adalah percobaan pembunuhan
atau percobaan mampu, bukan percobaan tidak mampu.
Drs. Adami Chazawi meluruskan dalam
bukunya yang berjudul ”Percobaan dan Penyertaan”, istilah ondeuglijke poging itu sebaiknya disebut dengan dua istilah.
Apabila objeknya tidak sempurna maka sebut saja dengan istilah ’perbuatan yang
objeknya tidak mampu’ dan apabila alatnya tidak sempurna sebut dengan
’perbuatan yang alatnya tidak mampu’. Tetapi dikarenakan istilah ondeuglijke poging itu sudah sangat
lazim digunakan maka tidak ada salahnya tetap digunakan.
Menurut doktrin hukum pidana, percobaan tidak
mampu dibedakan antara :
a)
Percobaan
tidak mampu karena objeknya tidak sempurna yang dibedakan antara:
1.
Objek
yang tidak sempurna absolut:
Melakukan perbuatan untuk mewujudkan suatu
kejahatan mengenai objek tertentu yang ternyata tidak sempurna, dan oleh karena
itu maka kejahatan tidak terjadi dan tidak mungkin dapat terjadi.
Contoh : membunuh mayat.
2.
Objek
yang tidak sempurna relatif:
Melakukan perbuatan yang ditujukan untuk
mewujudkan kejahatan tertentu pada objek tertentu, yang pada umumnya dapat
tercapai, tetapi dalam keadaan khusus tertentu objek tersebut menyebabkan
kejahatan tidak terjadi. Contoh : membobol brankas yang kebetulan sedang tidak
ada isinya.
b)
Percobaan
tidak mampu karena alatnya yang tidak sempurna dibedakan antara:
1.
Alatnya
yang tidak sempurna absolute:
Melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan
kejahatan, dengan menggunakan alatnya yang tidak sempurna mutlak, maka
kejahatan itu tidak terjadi, dan tidak mungkin terjadi. Perbuatan ini tidak
dapat melahirkan tindak pidana. Syarat – syarat yang telah ditentukan dalam
pasal 53 ayat (1) tidak mungkin ada dalam alat yang tidak sempurna mutlak.
Contoh : menembak orang dengan pistol yang tak
berpeluru.
2.
Alatnya
yang tidak sempurna relative:
Melakukan perbuatan dengan maksud mewujudkan
kejahatan dengan menggunakan alat yang tidak sempurna relatif, artinya
kejahatan dapat terjadi dan dapat dipidana.
Contoh : meracuni orang dengan dosis
kurang.
2.
Mangel
am Tatbestand
Mangel
am Tatbestand ini
adalah suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak pidana tetapi
ternyata kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur tindak pidana yang
dituju. Disini telah terjadi kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak
pidana.
Seseorang telah
selesai melakukan suatu perbuatan, akan tetapi tidak terjadi kejahatan. Mangel
am tatbestand ini berada di luar lapangan percobaan yang dapat dipidana.
Contoh : A mengambil barang yang
dikira milik B, tapi ternyata barang tersebut miliknya sendiri.
3. Putatief
Delict
Pada Putatief
Delict terjadi kesesatan hukum pada seseorang yang melakukan perbuatan
dalam usahanya untuk mewujudkan tindak pidana. Putatief Delict bukanlah
suatu tindak pidana dan juga bukan percobaan, melainkan suatu kesalahpahaman
bagi orang yang melakukan suatu perbuatan yang dikiranya telah melakukan suatu
tindak pidana, padahal sebenarnya bukan.
Contoh : orang asing yang melakukan
perbuatan yang menurut hukum negaranya adalah perbuatan asusila di Indonesia,
tetapi disini bukan merupakan tindak pidana.
4.
Percobaan
selesai, percobaan tertunda dan percobaan yang dikualifisir
a)
Percobaan
selesai (delict manque) adalah melakukan perbuatan yang ditujukan untuk
melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya sudah begitu jauh-sama seperti
tindak pidana selesai, akan tetapi oleh sebab sesuatu hal tindak pidana itu
tidak terjadi. Dikatakan percobaan karena tindak pidana itu tidak terjadi, dan
dikatakan selesai karena pelaksanaan sesungguhnya sama dengan pelaksanaan yang
dapat menimbulkan tindak pidana selesai.
Contoh: orang yang mau menembak orang lain,
peluru telah ditembakkan tapi tembakannya meleset.
b)
Percobaan
tertunda adalah percobaan yang perbuatan pelaksanannya terhenti pada saat
mendekati selesainya kejahatan.
Contoh: seorang pencopet telah memasukkan
tangannya ke dalam tas seorang perempuan dan telah memegang dompet sang
perempuan, tiba – tiba perempuan itu sadar dan memukul tangan pencopet itu,
menyebabkan terlepaslah dompet yang telah dipegangnya.
c)
Percobaan
dikualifisir adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak
pidana selesai yang lain daripada yang dituju.
Contoh : seseorang bermaksud membunuh temannya
dengan pisau, akan tetapi setelah menikam si teman ternyata temannya tidak
meninggal, hanya luka berat.
II.6 Contoh
Kasus dan Analisisnya
Contoh
Kasus:
(PADANG 6 JUNI
2009) Dalam waktu dekat kasus percobaan pembunuhan dengan korban Iqbal (15),
siswa SMK I Padang segera disidangkan. Berkas perkara beserta tersangka Fauzan
Azima (17), dan barang bukti (BB) berupa belati, handphone, sandal dan pakaian
korban telah dilimpahkan penyidik Polsek Padang Timur ke Kejaksaan Negeri
(Kejari) Padang, Jumat (5/6).
Berkas dan tersangka berikut barang bukti
kasus tersebut diserahkan kepada Eli Roza, SPd, SH, sebagai Jaksa Penuntut Umum
(JPU) yang selanjutnya akan menangani perkara tersebut. Terhadap tersangka yang
telah menjalani penahanan di Polsek Padang Timur itu, JPU tetap melakukan
penahanan. Untuk itu selanjutnya tersangka akan menjalani masa penahanan
sementara di Rutan LP Muaro Padang.
Kasi Pidum Kejari Padang Johandris, SH,
menyatakan, setelah diterimanya berkas tahap II ini, maka selanjutnya JPU akan
menyiapkan dakwaannya, agar kasusnya dapat dilimpahkan segera ke pengadilan.
Tersangka yang sebelumnya telah pernah dihukum ini dijerat dengan pasal
alternatif, dengan tuduhan telah melakukan percobaan pembunuhan, pasal 53 jo
338 jo 339 jo 340 KUHP, atau pasal penganiyaan berat, pasal 354 jo 355 KUHP,
atau pencurian dengan kekerasan, pasal 365 KUHP.
Selain itu anak ke 6 dari 7 bersaudara itu
juga dijerat dengan tuduhan membawa senjata tajam tanpa izin, UU Darurat No 12 tahun
1955. Fauzan diduga telah melakukan percobaan pembunuhan terhadap Iqbal pada
Selasa (5/5), menjelang Magrib lalu di WC Wanita Musala Jihad Kubu Dalam
Padang.
Di lembaran berkas acara pemeriksaan, penyidik
membeberkan kronologis kejadian hingga tersangka mencoba kabur selama dua hari
ke Pekanbaru, semuanya sudah dilengkapi dengan bukti-bukti. Sebilah belati yang
digunakan untuk menggorok leher korban. Dari keterangan Fauzan, ia melarikan
diri karena takut perbuatannya di ketahui warga. Setelah menggorok, tersangka
langsung kabur ke Pekanbaru dengan menumpangi travel, lanjutnya tersangka
mengakui menggorok leher korban dari depan, di dalam WC Musala dengan alasan
sakit hati terhadap sikap korban yang menertawainya saat meminjam handphone
korban. Merasa dilecehkan, tersangka akhirnya mengintai korban. Saat korban
berada dekat pintu masuk kamar mandi musala, Fauzan mengancamnya dengan belati
yang telah disiapkannya. Dia membawa Iqbal ke dalam WC wanita musala dan
mengikat tangan Iqbal ke belakang. Kemudian tanpa belas kasihan ia langsung
menebas lehernya. Setelah korban tersungkur, ia kembali mengarahkan belatinya
ke arah korban. Selanjutnya terdakwa melarikan diri. (yan)
Sumber : edijarot.com
Analisis:
Pada kasus di
atas, diterangkan bahwa tersangka bermaksud membunuh korban. Akan tetapi,
korban ternyata tidak meninggal seperti yang diharapkan oleh tersangka. Oleh
karena itu, kasus tersebut tidak memenuhi unsur dalam pasal 338 KUHPidana
mengenai pembunuhan. Karena pembunuhannya tidak terselesaikan, maka perbuatan
ini tergolong pada tindak pidana percobaan pembunuhan sebagaimana termuat dalam
pasal 53 jo 338 jo 339 jo 340 KUHP.
Pasal 53 mengenai percobaan berbunyi ”mencoba
melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, buka
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri”. Sementara pasal 338 memuat
mengenai pembunuhan, yang berbunyi ”barangsiapa merampas nyawa oranglain,
diancam karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun”.
Pasal 339 berbunyi ”pembunuhan yang diikuti,
disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan
maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap
tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara
melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama 20 tahun”.
Sedangkan pasal
340 berbunyi ”barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebiih dahulu merampas
nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati
atau dengan pidana penjara seumur hidup, atau selama waktu tertentu, paling
lama 20 tahun”.
Karena korban tidak meninggal dan mengalami
luka berat, perbuatan ini memenuhi unsur dalam pasal 354 ayat (1) KUHP mengenai
penganiayaan berat yang berbunyi ”barangsiapa sengaja melukai berat orang lain
diancam, karena melakukan penganiayaan berat, dengan pidana penjara paling lama
8 tahun” jo pasal 355 KUHPidana yang berbunyi ”penganiayaan berat yang
dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama 12 tahun”.
BAB III
KESIMPULAN
Percobaan adalah suatu usaha mencapai suatu
tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum terjadi. Percobaan dimuat dalam
pasal 53 dan 54 KUHP . Syarat-syarat suatu tindakan termasuk ke dalam tindak
percobaan adalah adanya niat, adanya permulaan pelaksanaan, pelaksanaan tidak
selesai yang bukan disebabkan karena kehendak sendiri. Lembaga hukum percobaan
diperlukan untuk menjamin adanya ketentraman individu.
Ada
beberapa perbuatan yang seolah – olah atau mirip dengan percobaan, perbuatan
tersebut adalah ondeugdelijke poging
(percobaan tidak mampu), mangel am tatbestand
(kekurangan isi delik), putatief delict
(delik putatif), delik manque
(percobaan selesai), geseharste poging
(percobaan tertunda) dan gequalificeerde
poging (percobaan yang dikualifisir).
Pada
hakikatnya pasal 53 dan 54 selalu dihubungkan dengan pasal-pasal lain yang
merujuk pada perbuatan tersebut.
PENYERTAAN (DEELNEMING)
1.
PENGERTIAN
Deelneming dapat
diartikan sebagai terwujudnya suatu tindak pidana yang dilakukan oleh lebih
dari satu orang, yang mana antara orang yang satu dengan yang lainnya terdapat
hubungan sikap batin dan/atau perbuatan yang sangat erat terhadap terwujudnya
tindak pidana tersebut.
Menurut Chajawi Deelneming
adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta/terlibatnya orang atau
orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing
perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat
dalam kerja sama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan masing-masing dari
mereka berbeda satu dengan yang lain demikian juga bisa tidak sama apa yang ada
dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang
lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka
terhadap tindak pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari
perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalianlah suatu hubungan
yang sedemikian rupa eratnya, dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan
yang lainnya, yang kesemuanya mengarah pada satu ialah terwuudnya tindak
pidana.
Bisa diartikan juga bahwa Deelneming
atau penyertaan adalah apabila dalam suatu peristiwa pidana terdapat lebih dari
1 orang, sehingga harus dicari pertaunggungjawaban dan peranan masing2 peserta
dalam persitiwa tersebut. Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana
tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga
disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan
sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig)
atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang
membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat
atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan.
2.
Sistem
Pertanggung jawaban Pada Deelneming
Dari pengertian Deelneming di
atas dan dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban pidananya, maka sebelum
mengetahui bentuk pertanggungjawabannya, ada dua persoalan yang perlu dibahas
sebelumnya:
a. Mengenai
diri orangnya , yaitu orang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimanakah dan
atau yang bersikap batin bagaimana yang dapat dipertimbangkan dan dapat
ditentukan sebagai terlibat dalam tindak pidana secara Deelneming, sehingga yang bersangkutan patut dipidana?
b.
Mengenai tanggug jawab pidana, yaitu apakah mereka
para peserta yang terlibat pada suatu tindak pidana itu akan
dipertanggungjawabkan sama ataukah berbeda sesuai dengan besar/kecilnya andil
masing-masing terhadap terwujudnya tindak pidana.
Mengenai persoalan yang pertama (poin a). untuk dapat menentukan keterlibatan seseorang dalam tindak pidana yang dilakukan secara Deelneming, ada dua syarat yang harus dipenuhi:
Mengenai persoalan yang pertama (poin a). untuk dapat menentukan keterlibatan seseorang dalam tindak pidana yang dilakukan secara Deelneming, ada dua syarat yang harus dipenuhi:

Syarat Subjektif dibagi menjadi 2:
1.
Adanya
hubungan batin (kesengajaan) dengan
tindak pidana yang diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada
terwujudnya tindak pidana.
2.
Adanya hubungan batin (kesengaaan dengan mengetahui)
antara dirinya dengan peserta lainnya dan bahkan dengan apa yang dilakukan oleh
dia dan peserta lainnya.

Syarat
obyektif ialah bahwa perbuatan orang tersebut memiliki hubungan dengan
terwujudnya tindak pidana, atau dapat dikatakan juga bahwa wuud perbuatan orang
tersebut secara objektif ada perannya/pengaruh positif baik besar atau kecil,
terhadap terwujudnya tindak pidana.
Dari pendekatan praktik, syarat pertama (subjektif) dapat saja berdiri
sendiri, contohnya terhadap orang yang perbuatannya menyuruh melakukan (doen plegen) dan atau orang yang
perbuatannya sengaja menganjurkan (uitlokken).
Pada doen plegen dan uitlokken para pelakunya semata-mata
hanya terlibat secara subjektif, sama sekali tidak secara obektif. Dalam artian
bahwa pelaku doen plegen dan uitlokken tidak melakukan perbuatan
fisik apapun dalam mewujudkan tindak pidana yang dikehendakinya.
Namun terhadap syarat yang kedua (objektif) tidak mungkin dapat berdiri
sendiri, karena apabila berdiri sendiri, maka tidak akan dapat disebut sebagai
penyertaan. Dengan demikian syarat objektif harus selalu melekat dengan syarat
subektif pada tindak pidana yang dilakukan secara Deelneming.
Mengenai persoalan yang kedua (poin b), yakni sistem pertanggungjawaban
pidananya. Mengenai Deelneming, dalam
ilmu hukum pidana dikenal 2 sistem pertanggungjawaban pidana, yaitu:
a.
Doktrin pertanggungjawaban pidana hukum Romawi,
bahwa setiap orang
yang terlibat bersama-sama kedalam suatu tindak pidana dipandang dan
dipertanggungjawabkan secara sama dengan orang yang sendirian (dader) melakukan
tindak pidana, tanpa dibedakan baik atas perbuatan yang dilakukannya maupun
atas sikap batinnya.
b.
Doktrin pertanggungawaban pidana hukum Italia,
masing-masing orang
yang bersama-sama terlibat kedalam tindak pidana dipandang dan
dipertanggungjawabkan berbeda-beda, yang berat ringannya disesuaikan dengan
bentuk dan luasnya wujud perbuatan masing-masing orang terhadap tindak pidana
yang terjadi.
Dari dua doktrin pertanggungawaban pidana tersebut, hukum pidana
Indonesia mengadopsi kedua-duanya, yang lazim disebut sistem campuran.
Dikatakan demikian, karena sebagaimana diketahui bahwa dalam hukum pidana
Indonesia yang diatur dalam KUHP, Deelneming
dikelompokkan kedalam 2 kelompok, yaitu:
1) Para pembuat
(mededader) diatur dalam Pasal 55
KUHP dan
2) Pembuat
pembantu (medeplichtige) diatur dalam
Pasal 56 KUHP.
Terhadap para pembuat (mededader)
orang-orang yang terlibat di dalamnya ancaman pertanggungjawaban pidananya
disamakan, sedangkan terhadap para pembuat pembantu (medeplichtige) ancaman pertanggungjawaban pidananya lebih ringan
dari pada para pembuat (mededader),
yakni menurut Pasal 57 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa “dalam hal pembantuan,
maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga”.
3.
Bentuk-Bentuk
Deelneming
Sebelum membahas mengenai bentuk-bentuk penyertaan, perlu diperhatikan
rumusan Pasal 55 dan 56 KUHP.
Rumusan Pasal 55 berbunyi:
(1)
Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
1.
Mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan
yang turut serta melakukan;
2.
Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu,
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau
penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan sengaja
menganurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2)
Terhadap
penganjur, hanya perbuatan, yang
sengaja diajurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Rumusan Pasal 56 KUHP berbunyi:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. Mereka yang
sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan yang dilakukan;
2.
Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari kedua pasal tersebut (Pasal 55 dan 56) tersebut, dapat diketahui
bahwa menurut KUHP penyertaan itu dibedakan dalam 2 kelompok, yaitu:
1.
Pertama adalah kelompok yang disebut sebagai para
pembuat (mededaer), (Pasal 55 KUHP)
yaitu:
a.
Yang melakukan (plegen),
orangnya (pleger)
b.
Yang menyuruh melakukan (doen plegen) orangnya (doen
pleger)
c.
Yang turut serta melakukan (mede plegen) orangnya (mede
pleger)
d.
Yang menganjurkan (uitlokken) orangnya (uitlokker).
2.
Kedua,
yaitu orang yang disebut sebagai
pembuat pembantu (medeplichtige)
(Pasal 56 KUHP), yakni:
a.
pemberi bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan
b.
pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
PARA
PEMBUAT (MEDEDAER)
a)
Yang melakukan (plegen) orangnya (pleger)
Siapa yang
dimaksud dengan mereka yang melakukan? Atau dengan syarat-syarat apa seseorang
yang terlibat dalam tindak pidana secara Deelneming
disebut sebagai orang yang melakukan/pembuat pelaksana? Undang-undang tidak
memberikan penjelasan lebih jauh tentang kriteria untuk dapat disebut sebagai
‘mereka yang melakukan’/ pembuat pelaksana ini. Namun dari berbagai pendapat
para ahli dan dengan pendekatan praktik dapat diketahui bahwa untuk menentukan
seseorang sebagai yang melakukan (pleger)/pembuat pelaksana tindak pidana
secara penyertaan adalah dengan 2 kriteria:
1) perbuatannya
adalah perbuatan yang menetukan terwujudnya tindak pidana,
2) perbuatannya
tersebut memenuhi seluruh unsur tindak pidana.
Mereka yang
melakukan (pembuat pelaksana: pleger) adalah orang yang melakukan sendiri suatu
perbuatan yang memenuhi semua unsur delik. Perbedaan dengan dader adalah pleger dalam melakukan tindak pidana masih diperlukan keterlibatan
orang lain minimal 1 orang, misalnya pembuat peserta, pembuat pembantu, atau
pembuat penganjur.
Dalam tindak
pidana formil, plegernya adalah siapa yang melakukan dan menyelesaikan
perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam tindak pidana ybs.
Dalam tindak
pidana materiil, plegernya adalah orang yang perbuatannya menimbulkan akibat
yang dilarang oleh uu.
b)
Yang menyuruh melakukan (doen plegen) orangnya (doen
pleger)
Undang-undang
tidak menjelaskan tentang siapa yang dimaksud dengan yang menyuruh melakukan
itu. Untuk mencari pengertian dan syarat untuk dapat ditentukan sebagai orang
yang melakukan (doen pleger), pada
umumnya para ahli hukum merujuk pada keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda,
yang berbunyi bahwa “yang menyuruh melakukan adalah dia juga yang melakukan
tindak pidana, tapi tidak secara pribadi melainkan dengan perantara orang lain
sebagai alat di dalam tangannya apa bila orang lain itu melakukan perbuatan
tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggungjawab, karena sesuatu hal yang
tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan”.
a. Orang lain
sebagai alat di dalam tangannya
Yang
dimaksud dengan orang lain sebagai alat di dalam tangannya adalah apabila
orang/pelaku tersebut memperalat orang lain untuk melakukan tindak pidana.
Karena orang lain itu sebagai alat, maka secara praktis pembuat penyuruh tidak
melakukan perbuatan aktif.
Dalam
doktrin hukum pidana orang yang diperalat disebut sebagai manus ministra sedangkan orang yang memperalat disebut sebagai manus domina juga disebut sebagai middelijke dader (pembuat tidak
langsung).
Ada tiga
konsekuensi logis, terhadap tindak pidana yang dilakukan dengan cara memperalat
orang lain:
§ Terwujudnya
tindak pidana bukan disebabkan langsung oleh pembuat penyuruh, tetapi leh
perbuatan orang lain (manus ministra);
§ Orang lain
tersebut tidak bertanggungjawab atas perbuatannya yang pada kenyataannya telah
melahirkan tindak pidana;
§ Manus
ministra ini tidak boleh dijatuhi pidana, yang dipidana adalah pembuatan
penyuruh.
b.
Tanpa
kesengajaan
Yang
dimaksud dengan tanpa kesengajaan atau tanpa kealpaan adalah perbuatan yang
dilakukan oleh orang yang disuruh (manus ministra) tidak dilandasi oleh
kesengajaan untuk mewujudkan tindak pidana, juga terjadinya tindak pidana bukan
karena adanya kealpaan, karena sesungguhnya inisiatif perbuatan datang dari
pembuat penyuruh, demikian juga niat untuk mewujudkan tindak pidana itu hanya
berada pada pembuat penyuruh (doen pleger).
c.
Karena
tersesatkan
Yang
dimaksud dengan tersesatkan disini adalah kekeliruan atau kesalahpahaman akan
suatu unsur tindak pidana yang disebabaklan oleh pengaruh dari orang lain
dengan cara yang isinya tidak benar, yang atas kesalahpahaman itu maka
memutuskan kehendak untuk berbuat. Keadaan yang menyebabkan orang lain itu
timbul kesalahpahaman itu adalah oleh sebab kesengajaan pembuat penyuruh
sendiri.
d.
Karena
kekerasan
Yang
dimaksud dengan kekerasan (geweld) di
sini adalah perbuatan yang dengan menggunakan kekerasan fisik yang besar, yang
in casu ditujukan pada orang, mengakibatkan orang itu tidak berdaya.
Dari apa
yang telah diterangkan di atas maka jelaslah bahwa orang yang disuruh melakukan
tidak dapat dipidana. Di dalam hukum orang yang disuruh melakukan ini dikategorikan
sebagai manus ministra, sementara orang menyuruh melakukan dikategorikan manus
domina.
Menurut
Moeljatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dipidananya orang yang disuruh,
karena:
1)
tidak mempunyai kesengaaan, kealpaan ataupun
kemampuan bertanggungjawab;
2)
berdasarkan Pasal 44 KUHP;
3)
daya paksa Pasal 48 KUHP;
4)
berdasarkan Pasal 51 ayat 2 KUHP; dan
5)
orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas
yang disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP).
c)
Yang turut serta melakukan (mede plegen) orangnya (medepleger)
Tentang
siapa yang dimaksud dengan turut serta melakukan (medepleger), oleh MvT dijelaskan bahwa yang turut serta melakukan
ialah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak
pidana. Penelasan MvT ini, merupakan penjelasan yang singkat yang masih
membutuhkan penjabaran lebih lanjut.
Dari
berbagai pandangan para ahli tentang bagaimana kategori untuk menentukan
pembuat peserta (medepleger), maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk menentukan seseorang sebagai pembuat
peserta yaitu apabila perbuatan orang tersebut memang mengarah dalam mewujudkan
tindak pidana dan memang telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat
pelaksana (pleger) untuk mewujudkan tindak pidana tersebut.
Perbuatan
pembuat peserta tidak perlu memenuhi seluruh unsur tindak pidana, asalkan
perbuatannya memiliki andil terhadap terwuudnya tindak pidana tersebut, serta
di dalam diri pembuat peserta telah terbentuk niat yang sama dengan pembuat
pelaksana untuk mewujudkan tindak pidana.
d)
Yang menganjurkan (uitlokken) orangnya (uitlokker)
Orang yang sengaja mengajurkan, seperti juga pada orang yang menyuruh
lakukan (doen pleger) tidak mewujudkan tindak pidana secara materil, tetapi
melalui orang lain.
Pasal 55 ayat (1) ke-2 berbunyi: “mereka yang dengan memberi atau
menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan sengaja menganurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”.
Apabila rumusan ini dirinci,
maka unsur-unsurnya adalah:
1)
Unsur objektif: menganjurkan orang lain melakukan
perbuatan, dengan menggunakan cara:
v
memberikan sesuatu;
v
menjanjikan sesuatu;
v
menyalahgunakan kekuasaan;
v
menyalahgunakan martabat;
v
dengan kekerasan;
v
dengan ancaman;
v
dengan penyesatan;
v
dengan memberi kesempatan;
v
dengan memberikan sarana;
v dengan
memberikan keterangan
2)
Unsur
subjektif: dengan sengaja
Satu hal yang perlu diingat disini adalah bahwa, dalam penganjuran ini,
baik orang yang menganjurkan maupun orang yang dianurkan, dipidana.
Perbedaan antara pembuat penyuruh (doen pleger) dengan pembuat penganjur
(uitloker) ini adalah pada pembuat penyuruh, orang yang disuruh tidak dipidana,
sedangkan pada pembuat penganjur, baik penganjur (uitloker) maupun orang yang
dianjurkan dipidana.
Ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur:
1) kesengajaan
si pembuat penganjur yang harus ditujukan pada 4 hal:
1. ditujukan
pada digunakannya upaya2 penganjuran
2. ditujukan
pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya
(point 1 dan 2
kesengajaan yang ditujukan pada perbuatan menganjurkan dengan upaya2, dan
akibat dari perbuatan tersebut, serta terjadi hubungan sebab akibat)
3. ditujukan
pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan). Kesengajaan
itu hrs ditujukan agar orang lain itu melakukan tindak pidana. Contoh: A dengan
menjanjikan upah sebesar 20 juta kepada B untuk membunuh C. perbuatan yang
dimaksud adalah tindak pidana pembunuhan. Di sini kesengajaan A ditujukan pada
orang lain (dalam hal ini B) untuk melakukan pembunuhan.
4. ditujukan
pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana. (hal ini
penting untuk membedakan dengan pembuat penyuruh ( doen pleger).
2)
dalam melakukan perbuatan meganjurkan harus
menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana Pasal 55 (1) angka 2.
Tidaklah
boleh dengan menggunakan upaya lain, misalnya menghimbau. Hal ini yang
membedakan antara pembuat penganjur dengan pembuat penyuruh. Pada pembuat
penyuruh dapat menggunakan segala cara, asalkan pembuat materiilnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
a.
Memberikan
sesuatu;
sesuatu di sini hrs
berharga, sebab kalau tidak tidak berarti apa-apa/tidak dapat mempengaruhi
orang yang dianjurkan. Misalnya uang, mobil, pekerjaan dsb. A memberikan uang
10 jt kepada B untuk membunuh C
b.
Menjanjikan
sesuatu;
janji adalah upaya
yang dapat menimbulkan kepercayaan bagi orang lain, janji itu belum diwujudkan,
tetapi janji itu telah menimbulkan kepercayaan untuk dipenuhi. A berjanji
kepada B akan memberikan uang jika berhasil membunuh C
c.
Menyalahgunakan
kekuasaan;
menyalahgunakan
kekuasaan : adalah menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara salah. Kekuasaan
ini adalah kekuasaan dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan. Oleh
karena itu upaya menyalahgunakan kekuasaan di sini diperlukan 2 syarat:
1.
upaya ini digunakan dalam hal yang berhubungan atau
dalam ruang lingkup tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan dan orang yang ada
di bawah pengaruh kekuasaan (orang yang dianjurkan)
2.
hubungan kekuasaan itu harus ada pada saat
dilakukannya upaya penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana sesuai
dengan apa yang dianjurkan. Apabila hubungan kekuasaan itu telah putus, maka
tidak terdapat penganjuran, karenanya pelaku mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya.
d.
Menyalahgunakan
martabat;
martabat di sini
misalnya orang yang mempunyai kedudukan terhormat, misalnya tokoh politik,
pejabat publik, sperti camat, todat, toga, tomas. Kedudukan seperti itu
mempunyai kewibawaan yang dapat memberikan pengaruh pada masyarakat atau
orang2, pengaruh tsb dapat disalahgunakan. (menyalahgunakan martabat)
e.
Menggunakan
kekerasan;
menggunakan kekuatan
fisik pada orang lain sehingga menimbulkan akibat ketidak berdayaan orang yang
menerima kekerasan itu. Tetepi syaratnya adalah berupa ketidakberdayaan yang
sifatnya sedemikian rupa sehingga dia masih memiliki kesempatan dan kemungkinan
cukup untuk melawan kekerasan itu tanpa resiko yang terlalu besar (menolak
segala apa yang dianjurkan).
f.
Menggunakan
ancaman;
Ancaman adalah suatu
paksaan yang bersifat psikis yang menekan kehendak orang sedemikian rupa
sehingga dia memutuskan kehendak untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh orang
yang mengancam. Ancaman juga menimbulkan ketidakberdayaan, tetapi tidak
bersifat fisik, melainkan psikis, misalnya menimbulkan rasa ketakutan, rasa
curiga, was-was. Misalnya akan dilaporkan akan dibuka rahasianya. Ancaman di
sini juga hrs dapt menimbulkan kepercayaan bhw yang diancamkan itu akan
diwujudkan oleh pengancam. Sebab kalau tidak ada kepercayaan, misalnya hanya
bercanda saja, maka hanya pembuat materiilnya saja yang dipidana.
g.
Menggunakan
penyesatan (kebohongan);
berupa perbuatan
yang sengaja dilakukan untuk mengelabui atau mengkelirukan anggapan atau
pendirian orang dengan segala sesuatu yang isinya tidak benar atau bersifat
palsu, sehingga orang itu menjadi salah atau keliru dalam pendirian.
Perbedaan penyesatan
dalam pembuat penyuruh dan pembuat penganjur adalah:
1.
penyesatan pada bentuk pembuat pembuat penyuruh
adalah penyesatan yang ditujukan pada unsur tindak pidana, misal penjahat yang
menyuruh kuli untuk menurunkan sebuah kopor milik orang lain. Tetapi penyesatan
pada pembuat pengajur tidaklah ditujukan pada unsur tindak pidana tetapi
ditujukan pada unsur motif tindak pidana. Contoh A sakit hati pada C dan
karenanya A mengehndaki agar C mengalami penderitaan. Untuk itu A menyampaikan
berita bohong yang menyesatkan B bahwa C telah berslingkuh dengan isterinya B
dengan membuat alibi (pernyataan) palsu, dan dengan sangat meyakinkan A
menganjurkan kepada B agar membunuh atau dianiaya saja C. penyesatan di sini
adalah ditujukan pada motif agar B sakit hati dan membenci C, atau memberikan
dorongan agar timbul sakit hati, benci dan dendam pada B, sehingga mendorong B
untuk melakukan sesuai dengan kehendak A. apabila B tersesat dalam pendirian
dan kemudian membunuh atau menganiaya C maka terjadi bentuk pembuat penganjur.
2.
Berbuat karena tersesat dalam hal unsur tindak
pidana, pembuatnya tidak dapat dipidana. Di sini terjadi bentuk pembuat
penyuruh yang dipidana adalah pembuat penyuruhnya. Pembuat materiilnya tidak
dapat dipidana. Tetapi berbuat karena tersesat dalam hal unsur motif, yang
terjadi adalah bentuk pembuat penganjur, dimana keduanya sama2 dapat dipidana.
h.
Memberikan
kesempatan;
adalah memberikan
peluang yang seluas-luasnya bagi orang lain untuk melakukan tindak pidana. Ex:
A penjaga gudang yang menganjurkan kepada B untuk mencuri di gudang dengan
kespakatan pembagian hasilnya, sengaja memberi kesempatan kepada B untuk
mencuri dengan berpura-pura sakit sehingga pada malam itu dia absen dari
tugasnya.
i.
Memberikan
sarana;
berupa memberikan
alat atau bahan untuk digunakan dalam melakukan tindak pidana. Misalnya A
penjaga gudang sengaja menganjurkan pada B untuk mencuri di gudang dengan
kesepakatan bagi hasil dengan cara memberikan kunci duplikat.
j.
Memberikan
keterangan.
memberikan
informasi, berita-berita yang berupa kalimat yang dapat menarik kehendak orang
lain sehingga orang yang menerima informasi itu timbul kehendaknya untuk melakukan
suatu tindak pidana, yang kemudian tindak pidana itu benar dilaksanakan.
3)
terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat
peklaksananya) untuk meakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan
adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya2 penganjuran oleh si pembuat
penganjur.
Di sini terjadi
hubungan sebab akibat. Sebab adalah digunakan upaya penganjuran, dan akibat
adalah terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan. Jadi jelaslah inisiatif
dalam hal penganjuran selalu dan pasti berasal dari pembuat penganjur. Hal ini
pula yang membedakan dengan bentuk pembantuan. Pada pembantuan (pasal 56)
inisiatif untuk mewujudkan tindak pidana selalu berasal dari pembuat
pelaksananya, dan bukan dari pembuat pembantu.
4)
orang yang dianjurkan (pembuat pelaksanaanya) telah
melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan.
5)
orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki
kemampuan bertanggung jawab.
DAFTAR
PUSTAKA
- Adami Chajawi, Percobaan & Penyertaan (Pelajaran Hukum Pidana Bagian), Rajawali Pers, Jakarta, 2002.
- KUHP
- Moeljatno, Hukum Pidana Delik Delik Percobaan Dan Delik Delik Penyertaan,(Jakarta:BinaAksara,1985).
- Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan &Penyertaan,(Jakarta:RajaGrafindo,2002).
- P.A.F. Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia,(Bandung:SinarBaru,1983),
How to make money from slots games | Make Money Online Slots
BalasHapusHow to make money from slot games · 1. Choose from a list of the best slot machines that หารายได้เสริม you can play · 2. Choose from a list of all the popular slots games that you
Borgata Hotel Casino & Spa Launches in Atlantic City - KLH
BalasHapusBorgata Hotel Casino & Spa is a New Jersey luxury resort casino 정읍 출장마사지 and hotel located 창원 출장샵 on the famous casino 김천 출장마사지 block in the 하남 출장샵 city of Atlantic City, 남양주 출장마사지